Aku Cinta Indonesia, (Tapi)

Sebuah Curhat Generasi yang Galau antara Cinta Tanah Air dan Realita Hidup.

Aku lahir dan besar di sini. Aroma tanah basah habis hujan, gemercik air di pancuran, obrolan santai sama tukang bakso langganan, sampai gemuruh supporter sepak bola. Semua itu adalah bagian dari keseharian aku. Indonesia bukan cuma tempat; dia adalah memori, identitas, dan rasa. Intinya, aku tuh cinta sama negara ini.

Tapi, di balik semua rasa cinta itu, ada pertanyaan yang makin keras kedengarannya di kepala: "Apa aku bisa membangun masa depan yang kuimpikan di sini?"

Jujur saja, jawabannya seringkali bikin hati ciut. Ini bukan tentang nggak nasionalis. Ini tentang realita yang sehari-hari kita hadapi.

Yang Bikin Betah: Alasan Aku Buat Stay

Mari kita mulai dari hal-hal indah yang bikin kita semua betah:

  1. Kekuatan Sosial yang Nggak Ada Duanya. Dari yang sekadar "mau ke mana?" sampai bantuan spontan ketika kita kesusahan, rasa komunitas di Indonesia itu nyata. Kita nggak pernah benar-benar sendirian. 
  2. Budaya yang Hidup dan Berdenyut. Dari upacara adat yang sakral sampai tren TikTok yang gak ada habisnya, hidup di Indonesia itu penuh warna. Nggak pernah membosankan. 
  3. Kuliner yang Bisa Menyembuhkan Jiwa. Siapa yang bisa menolak ketenangan yang diberikan oleh semangkuk soto ayam atau seporsi sate di malam hari? Ini adalah comfort yang nggak tergantikan. 
  4. Alam yang Bikin Melongo. Dari Raja Ampat sampai gunung-gunung di Jawa, kita diingatkan setiap hari bahwa kita tinggal di negeri yang sangat cantik.

Ini semua adalah "alasan kuat" untuk bertahan. Tapi sayangnya, seringkali kalah berat dengan...

Yang Bikin Ngeluh: Realita Pahit di Balik Layar

Ini masalah paling utama: ekonomi. Banyak dari kita, lulusan sarjana bahkan master, kerja dengan gaji yang nggak sebanding dengan beban kerja dan biaya hidup yang melambung tinggi. Mimpi buat beli rumah atau mobil? Kayaknya cuma jadi mimpi doang. Rasanya kayak lari di treadmill—capek banget, tapi posisi tetap di tempat.

Selain tekanan ekonomi, ada juga tekanan sosial. Ekspektasi untuk cepat-cepat menikah, punya anak, punya pekerjaan "yang bener", dan mengikuti norma tanpa banyak bertanya, bisa bikin sesak. Ruang untuk menjadi berbeda atau berpikir out of the box seringkali sempit.

Budaya kerja yang menghormati jam kerja yang wajar? Masih langka. 'Hustle culture' dirayakan, sementara kesehatan mental dianggap sebagai kelemahan. Atasan yang merasa seperti dewa, dan sistem yang nggak menghargai kehidupan pribadi. Banyak dari kita yang merasa terkuras habis-habisan, bukan untuk berkembang, tapi sekadar untuk bertahan.

Oh ya, jangan lupakan korupsi, birokrasi yang berbelit, dan ketidakpastian hukum. Hal-hal ini bukan cuma berita di TV. Itu adalah hal yang kita hadapi, dari urusan mengurus KTP sampai melihat proyek infrastruktur megah yang ternyata sarat masalah. Rasanya kayak ada yang nggak beres di fondasi rumah kita sendiri, dan kita cuma bisa nonton, nggak tau harus berbuat apa.

Dilema: Pergi atau Tetap Berjuang?

Nah, di sinilah letak kegalauannya.

Di satu sisi, ada pilihan untuk pergi. Kesempatan untuk hidup yang lebih sejahtera secara finansial, sistem yang lebih terprediksi, dan penghargaan terhadap work-life balance. Tapi, pergi berarti meninggalkan semua "rasa" Indonesia yang aku cintai. Berarti merindukan keluarga dari kejauhan dan jadi 'orang asing' di negeri orang.

Di sisi lain, ada pilihan untuk bertahan. Berjuang, bersuara, dan berharap suatu saat nanti keadaan bisa berubah. Tapi, bertahan juga butuh energi dan mental yang kuat. Sampai kapan kita harus menunggu? Apakah pengorbanan kita hari ini akan berbuah di masa depan?

Bukan karena Benci, Tapi Karena Sayang

Jadi, ketika ada yang bilang, "Kok mau pergi sih? Nggak cinta tanah air?" jawabannya kompleks.

Perasaan ini seperti punya hubungan yang rumit dengan seseorang yang sangat kita cintai. Kita melihat potensi terbaiknya, kita ingat semua kenangan indahnya, tapi kita juga sakit hati melihat kebiasaan-kebiasaan buruknya yang nggak kunjung berubah.

Aku cinta Indonesia. Tapi cinta saja tidak cukup untuk membayar sewa, untuk menjamin kesehatan, atau untuk memastikan bahwa anak-anak kita nanti bisa tumbuh di lingkungan yang adil dan maju.

Ini bukan ultimatum, ini adalah jeritan hati yang berharap suatu hari nanti, negeri ini akan membaik. Sehingga, kita semua bisa tetap untuk tinggal, bukan karena terpaksa, tapi karena kita benar-benar ingin.

Lebih baru Lebih lama