Suara Pemuda Adat Kini Mendunia, dari Bali Hingga COP30 Brasil!

Pemuda desa sedang berbincang dengan orang tua (Dalyanta Sembiring/BPAN)

Jakarta - Selama ini, suara Pemuda Adat seringkali terpinggirkan dalam pembahasan nasib hutan, sungai, dan tanah leluhur mereka. Tapi kini, keadaan berubah. Mereka bangkit dan berbicara lantang di konferensi-konferensi global, menuntut agar masa depan dibicarakan bersama mereka, bukan hanya untuk mereka.

Cindy Yohana dari Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN) menegaskan peran vital yang dipegang oleh para pemuda. "Kami adalah penerus nilai dan praktik leluhur. Kami melindungi dengan kearifan lokal yang tidak hanya menjaga harmoni, tapi juga membuka potensi ekonomi berkelanjutan," ujarnya, menyebut pangan lokal dan kerajinan tradisional sebagai contohnya.

Suara ini makin kuat ketika dibawa ke panggung dunia. Seperti Global Youth Forum (GYF) di Bali yang menghubungkan lebih dari 50 pemimpin muda dari 27 negara. Forum ini menjadi ruang penting untuk membekali, memberdayakan, dan menyatukan suara mereka.

Bawa Aspirasi ke Panggung Dunia

Hasil dari pertemuan di Bali ini tak berhenti di sana. Para Pemuda Adat akan membawanya ke Conference of the Parties (COP) 30, konferensi iklim terbesar dunia, yang akan digelar di Brasil November mendatang.

Bagi Indonesia, yang memiliki hutan tropis terbesar ketiga di dunia, kehadiran ini sangat krusial. Hero Aprila, Ketua BPAN, menekankan bahwa pemuda harus aktif mengambil ruang. "Kita harus bersuara dan terlibat secara bermakna, bukan cuma ikut-ikutan saja di forum pengambilan keputusan," tegas Hero.

Tantangan Globalisasi: Ancaman dan Peluang

Di balik semangat mereka, tantangan tak pernah absen. Globalisasi disebut menjadi tantangan besar. Funa-ay Claver dari Filipina menyoroti masalah utama seperti perampasan tanah dan penggusuran paksa. "Pemuda Adat biasanya terdampak negatif karena tidak jadi prioritas. Pertumbuhan korporasi mengakibatkan pelanggaran hak," jelasnya.

Kisah serupa datang dari Kongo. Elnathan Nkuli menceritakan tekanan dari penebangan liar hingga pertambangan skala besar di tanah adat, yang seringkali memicu konflik.

Aktivitas Elnathan dengan warga Kongo (Dalyanta Sembiring/BPAN)

Namun, globalisasi juga membawa dua sisi. Hero Aprila mengakui bahwa banyak pemuda yang mulai kehilangan identitas, malu dengan bahasa dan pakaian adat. Tapi di sisi lain, teknologi dan kehidupan di kota memberi peluang baru. "Kita justru bisa memperkenalkan budaya kepada dunia luar. Teknologi membantu kita menunjukkan cara berburu atau mengambil madu sebagai identitas budaya," paparnya.

Bergerak dengan Pendidikan dan Aksi Nyata

Lantas, bagaimana cara mereka bertahan dan berdaya? Jawabannya: melalui pendidikan dan aksi nyata.

BPAN, misalnya, mendorong berdirinya Sekolah Adat di berbagai daerah. "Sekolah adat adalah ruang yang memerdekakan. Kita bisa belajar di pinggir sungai, di hutan, di gunung. Gurunya adalah kita sendiri," jelas Hero tentang metode pembelajaran yang langsung praktik, seperti menganyam rotan atau berburu.

Di Kongo, program pemberdayaan difokuskan pada perempuan dan anak perempuan. Pelatihan pengelolaan hutan berkelanjutan yang mereka adakan berhasil mengurangi konsumsi kayu dan deforestasi hingga 40%! Bahkan, terbentuk koperasi untuk menjual briket ramah lingkungan.

Sementara itu, di tingkat Asia, AYIPN meluncurkan kampanye "Indigenous Lands in Indigenous Hands" (ILIH) untuk menyatukan Pemuda Adat sedunia mempertahankan sumber daya alam.

Pada akhirnya, kolaborasi adalah kunci. Seperti yang disampaikan Cindy, BPAN terbuka untuk kerja sama dengan Pemuda Adat negara lain, mulai dari pertukaran pengalaman hingga kampanye bersama. Melalui persatuan inilah, suara mereka menjadi kekuatan yang tak lagi bisa diabaikan untuk menentukan arah kebijakan global.


Komentar baru tidak diizinkan.*

Lebih baru Lebih lama