Surat-Surat yang Tak Sampai

Siti terus menulis surat-surat itu untuk ibunya


Siti menatap amplop biru muda di tangannya, jemarinya yang kasar mengusap permukaannya dengan hati-hati. Di dalamnya, terselip selembar kertas beraroma parfum murahan, penuh dengan tulisan tangan yang sengaja dibesar-besarkan. Surat itu, seperti surat-surat sebelumnya, berisi kisah tentang kehidupan Siti di Taiwan, kehidupan yang jauh dari kenyataan.

"Ibu pasti senang membaca ini," gumam Siti, membayangkan wajah renta ibunya yang buta huruf, tersenyum membayangkan putrinya hidup dalam kemewahan. Padahal, kenyataannya, Siti tinggal di sebuah kamar sempit di pinggiran kota, bekerja sebagai asisten rumah tangga dengan gaji pas-pasan.

***

Kebohongan itu dimulai sejak surat pertama. Siti, yang merasa malu dengan pekerjaannya, menulis tentang apartemen mewah, gaji besar, dan teman-teman ekspatriat. Ia tahu ibunya tidak akan pernah bisa membaca surat itu, tetapi ia ingin ibunya bangga.

"Siti, kapan kamu pulang?" tanya suara parau di ujung telepon. Ibu, dengan suaranya yang selalu dirindukan Siti, menanyakan kabar dan kapan ia bisa pulang.

"Sebentar lagi, Bu. Aku masih sibuk dengan pekerjaanku," jawab Siti, menahan air mata. Ia tahu, kepulangannya hanyalah mimpi yang tak mungkin terwujud.

***

Suatu hari, mimpi buruk Siti menjadi kenyataan. Adiknya, Rini, tiba-tiba datang ke Taiwan. Rini, yang selalu kagum dengan cerita-cerita Siti, ingin melihat sendiri kehidupan kakaknya yang "mewah".

"Kak, ini benar apartemenmu?" tanya Rini, matanya memindai kamar sempit dan berantakan itu. Siti hanya bisa menunduk, malu.

"Ini... ini apartemen sementara," jawab Siti, suaranya bergetar.

Rini tidak bodoh. Ia tahu kakaknya berbohong. "Kenapa Kakak berbohong? Kenapa Kakak tidak jujur?" tanya Rini, matanya berkaca-kaca.

Siti terdiam. Ia tidak tahu harus menjawab apa. Ia malu, sangat malu.

"Aku... aku hanya ingin Ibu bangga," akhirnya Siti berkata, air matanya mulai menetes. "Aku tidak mau Ibu tahu aku bekerja seperti ini."

Rini memeluk kakaknya, mencoba menenangkan. "Ibu akan tetap bangga padamu, Kak. Ibu tidak peduli dengan kemewahan. Ibu hanya ingin Kakak bahagia."

Siti menangis, melepaskan semua beban yang selama ini ia tanggung. Ia tahu, ia harus jujur. Ia harus mengakhiri kebohongan ini.

***

Keesokan harinya, Siti dan Rini menulis surat bersama. Surat itu berbeda dari surat-surat sebelumnya. Surat itu berisi kebenaran, tentang kehidupan Siti yang sederhana, tentang kerja kerasnya, dan tentang cintanya yang tak terbatas untuk ibunya.

"Ibu pasti mengerti," kata Rini, menggenggam tangan kakaknya.

Siti mengangguk, merasa lega. Ia tahu, kejujuran memang menyakitkan, tetapi kejujuran juga membebaskan. Ia tidak lagi harus hidup dalam kebohongan. Ia bisa menjadi dirinya sendiri.

Surat itu pun dikirimkan, terbang jauh menuju desa kecil di Indonesia. Siti tidak tahu bagaimana reaksi ibunya, tetapi ia tahu, ia telah melakukan hal yang benar. Ia telah mengirimkan surat-surat kejujuran, surat-surat yang akhirnya sampai ke hati.

Lebih baru Lebih lama