Bubur Ayam untuk Ibu


Kukecap bubur ayam itu. Gurih, hangat, menenangkan. Setiap butir berasnya lunak, menyerap kaldu ayam kampung yang kaya rempah. Suwirannya lembut, bersanding dengan kacang kedelai goreng, seledri iris, dan taburan bawang merah yang renyah. Seperti biasa, tidak ada cakwe. Ibu selalu lupa.

“Enak, Bu,” kataku, menyendokkan bubur itu ke mulut ibu. Ia terbaring lemah di tempat tidur, matanya sayu tapi selalu menerawang ke arahku setiap kali suapanku mendekat.

“Anak baik,” bisiknya lirih.

Ini ritual kami selama tiga bulan terakhir, sejak penyakitnya kambuh. Aku akan membeli bubur ayam dari penjual langganan ibu di ujung jalan, lalu menyuapinya perlahan. Ia seperti anak kecil yang patuh. Aku memandanginya, hati berkecamuk. Ia tidak ingat bahwa aku benci bubur ayam. Sejak kecil, aku lebih suka sereal dingin untuk sarapan. Tapi ibu selalu memaksaku makan bubur, katanya untuk kesehatan.

Kini, giliranku memaksanya untuk sembuh.

Setelah suapan terakhir, kuambil kotak kayu tua di samping tempat tidurnya. Di dalamnya, surat-surat lama. Aku membuka satu amplop, membacanya untuk kesekian kalinya. Surat dari papa, yang meninggalkan kami saat aku berusia lima tahun. Tulisan tangannya rapi.

“…dan tolong jaga ibumu. Dia semakin pelupa. Bahkan tadi pagi, dia membuatkan bubur ayam untukku, padahal sudah kukatakan berkali-kali bahwa aku alergi cakwe. Dia selalu lupa…”

Aku menatap ibu yang sudah tertidur pulas. Air mataku menitik, membasahi surat usang itu.

Selama ini, setiap mangkuk bubur ayam yang dibawakan untukku, yang selalu tanpa cakwe karena katanya aku tidak suka, ternyata adalah bentuk ingatannya yang tersisa tentang ayah. Bukan tentang aku.

Dan aku, anak yang dibencinya karena mirip dengan ayah yang pergi itu, ternyata telah menjadi pengganti pria yang ia rindukan dalam kebingungannya. Aku menyuapinya dengan bubur yang sama, yang kini ternyata adalah rasa cintanya yang tersesat.


Lebih baru Lebih lama